BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Klasifikasi dan Morfologi Rumput Laut
Sinulingga (2006) mengklasifikasikan Gracilaria verrucosa dalam sonomi sebagai
berikut :
Kingdom :
Plantae
Visi
: Rhodophyta
Class : Rhodophyceae
Ordo : Gigartinales
Familia : Gracilariaceae
Genus : Gracilaria
Spesies : Gracilaria verrucosa
Gambar 1.
Gracilaria verrucosa
Rumput
laut memiliki morfologi yang
tidak memperlihatkan adanya perbedaan antara akar, batang dan daun. Secara kesuluruhan,
tanaman ini mempunyai struktur tubuh
yang mirip, walaupun
sebenarnya berbeda, yang diebut sebagai thallus. Ciri morfologi Gracilaria
sp. adalah thallus yang menyerupai silinder,
licin, berwarna coklat atau kuning hijau, percabangan tidak
aturan memusat di bagian pangkal dan bercabang lateral memanjang
menyerupai rambut dengan ukuran panjang berkisar 15-30 cm (Ditjen perikanan, 2004).
Berikut Gambar 1 Gracilaria
verrucosa:
2.2 Ekologi Gracilaria verrucosa
Rumput
laut (Gracilaria verrucosa) umumnya terdapat di daerah dengan kondisi
tertentu. Kebanyakan tumbuh
di daerah pasang surut (intertidal)
atau daerah yang selalu terendam air (subtidal) melekat
pada substrat di dasar aliran yang berupa karang batu mati, karang batu hidup, batu gamping
atau cangkang molusca. Umumnya genus
Gracilaria sp.
tumbuh dengan baik didaerah pantai terumbu (reef).
Hal ini dikarenakan pada tempat
tersebut beberapa syaratan untuk pertumbuhan rumput laut dapat terpenuhi,
diantaranya adalah tor kedalaman
perairan, cahaya, substrat dan
pergerakan air. Habitat khas rumput laut adalah daerah yang memperoleh aliran
air laut tetap. Gracilaria
sp. menyukai variasi suhu harian yang kecil dan substrat batu karang yang mati. rumput laut ini
tumbuh mengelompok dengan berbagai jenis rumput
laut lainnya.
Berbagai faktor lingkungan seperti cahaya, suhu, salinitas, pH, zat hara dan
faktor biologis, berpengaruh penting pada laju pertumbuhan dan tingkat kelangsungan
hidup rumput laut. Uraian di bawah ini menjelaskan betapa pentingnya
faktor lingkungan bagi rumput laut Gracilaria verrucosa.
1. Suhu
Suhu perairan merupakan salah satu faktor
yang sangat penting dalam mempelajari gejala-gejala fisika air laut pada
perairan yang dapat mempengaruhi kehidupan hewan dan tumbuhan pada
suatu perairan. Kemampuan adaptasi rumput laut Gracilaria sp. terhadap suhu bervariasi,
tergantung dimana rumput tersebut
hidup sehingga dimungkinkan akan tumbuh subur pada daerah yang sesuai dengan suhu pertumbuhannya.
Suhu yang optimal untuk pertumbuhan mput
laut Gracilaria verrucosa adalah berkisar antara 20-28°C (Zatnika, 2009)
2. Salinitas
Salinitas
merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi pertumbuhan rumput
laut. Kondisi salinitas yang baik untuk pertumbuhan rumput laut
yaitu kisar antara 15-34 ppt (Zatnika,
2009). Dahuri (2002) menjelaskan bahwa secara umum salinitas permukaan perairan Indonesia rata-rata berkisar antara 32– ppt. Selanjutnya ditambahkan oleh Sutika (1989) bahwa salinitas air laut pada umnya berkisar antara 33 ppt sampai 37 ppt dan dapat berubah berdasarkan
waktu dan ruang. Nilai salinitas sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain suplai air tawar ke air laut,
curah hujan, musim, topografi, pasang surut dan aporasi (Nybakken, 2000). Selain itu Nontji (1993) juga menyatakan bahwa sebaran salinitas
dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti pola sirkulasi air, penguapan, curah
hujan dan aliran sungai.
3. Derajat
Keasaman (pH)
Pemilihan
lokasi untuk budidaya Gracillaria
verrucosa, harus memperhatikan faktor biologis, fisika dan kimiawi. Salah satu faktor kimiawi tersebut adalah
pH. Pertumbuhan rumput laut memerlukan pH air laut optimal yang berkisar antara 6-9 (Zatnika,
2009). Chapman (1962 in Supit 1989) menyatakan bahwa hampir
seluruh rumput laut menyukai kisaran
pH 6,8-9,6 sehingga variasi pH yang tidak terlalu besar tidak akan menjadi
masalah bagi pertumbuhan rumput
laut.
4. Oksigen
Terlarut (DO)
Oksigen terlarut (DO) merupakan salah satu faktor yang sangat penting bagi
organisme air. DO biasanya
dijumpai dalam konsentrasi tinggi
pada lapisan permukaan karena adanya
proses difusi oksigen dari udara ke
dalam air. organisme fotosintetik seperti fitoplankton juga membantu menambah
jumlah
oksigen terlarut pada lapisan permukaan
diwaktu siang hari. Penambahan disebabkan oleh terlepasnya gas oksigen sebagai hasil dari fotosintesis.
larutan oksigen di perairan sangat
penting dalam mempengaruhi
setimbangan kimia air laut dan juga dalam kehidupan
organisme. Selain itu oksigen dibutuhkan oleh hewan dan
tanaman air termasuk
mikroorganisme untuk proses
respirasinya.
Effendi (2003) menjelaskan bahwa hubungan
antara kadar oksigen terlarut dengan suhu berbanding terbalik, semakin
tinggi suhu maka kelarutan oksigen dan gas-gas lain juga berkurang
dengan meningkatnya salinitas. sehingga
kadar oksigen terlarut di laut
cenderung lebih rendah dari pada kadar oksigen di perairan tawar. Selanjutnya
dikatakan bahwa peningkatan suhu besar 1˚C
akan meningkatkan konsumsi oksigen sekitar 10%.
Sutika (1989) juga mengatakan bahwa pada dasarnya proses
penurunan oksigen dalam air disebabkan oleh proses kimia, fisika dan
biologi. Proses-proses sebut antara lain
proses respirasi baik oleh hewan maupun
tanaman
serta proses nguraian (dekomposisi)
bahan organik dan proses penguapan.
Kelarutan oksigen ke dalam air
terutama dipengaruhi oleh faktor
suhu, oleh karena itu kelarutan gas oksigen pada suhu rendah relative lebih tinggi jika dibandingkan dengan
suhu tinggi. Hal ini didukung oleh Fardiaz (1992) yang menyatakan bahwa kejenuhan oksigen dalam
air dipengaruhi oleh suhu air, dimana semakin
tinggi suhu maka konsentrasi oksigen terlarut semakin turun. Konsentrasi
dan distribusi oksigen di laut ditentukan oleh kelarutan gas oksigen dalam air
dan proses biologis yang mengontrol
tingkat konsumsi dan pembebasan oksigen.
Sulistijo dan Atmadja (1996) menyatakan bahan baku mutu DO untuk rumput laut adalah lebih dari 5 mg/l.
Hal
ini berarti jika oksigen terlarut
dalam airan mencapai 5 mg/l maka metabolisme rumput laut dapat berjalan dengan optimal.
Buesa (1977 in Iksan
2005) menyatakan perubahan oksigen
harian dapat terjadi di perairan dan bisa berakibat nyata terhadap pertumbuhan
rumput laut. namun kadar oksigen biasanya selalu cukup untuk proses metabolisme rumput
(Chapman 1962 in Iksan 2005).
5. Kecerahan
Cahaya matahari adalah merupakan sumber
energi dalam proses
fotosintesis. Pada proses fotosintesis
terjadi pembentukan bahan organic yang
diperlukan bagi pertumbuhan dan perkembangan.
Widodo
dan Suadi (2006) menyatakan bahwa cahaya menyediakan
energi bagi terlaksananya
fotosintesis, hingga kemampuan penetrasi cahaya pada kedalaman tertentu sangat menentukan distribusi vertikal organisme perairan. Hal yang berhubungan erat dengan penetrasi cahaya
yaitu kecerahan perairan.
Kecerahan perairan yang ideal
lebih dari 1 m. Air yang keruh (biasanya
mengandung lumpur) dapat menghalangi tembusnya cahaya matahari
di dalam air hingga proses
fotosintesis menjadi terganggu.
Hal ini akan berdampak buruk
hadap pertumbuhan dan perkembangan rumput
laut (Ditjen perikanan, 1997)
6. Intensitas
Cahaya
Radiasi matahari menentukan
intensitas cahaya pada suatu kedalaman tentu dan juga sangat mempengaruhi suhu perairan. Cahaya sinar matahari yang menembus permukaan
air berperan penting dalam produktivitas
perairan. cahaya mempunyai pengaruh besar terhadap biota laut yaitu sebagai sumber energi
untuk proses fotosintesis tumbuh-tumbuhan (Romimohtarto
dan Juwana,2001).
Hutabarat dan Evans (2001) mengatakan bahwa
penyinaran cahaya
matahari akan
berkurang secara cepat sesuai dengan makin tingginya
kedalaman airan. Adanya bahan-bahan yang melayang
dan tingginya nilai kekeruhan di perairan dekat pantai akan menyebabkan berkurangnya penetrasi cahaya di tempat tersebut. Intensitas
cahaya yang diterima sempurna
oleh thallus merupakan faktor utama dalam proses fotosintesis yang menentukan tingkat pertumbuhan
rumput laut. Penetrasi cahaya lebih optimal bila
menggunakan metode terapung dalam pembudidayaan
rumput laut.
7. Kedalaman
Direktorat jenderal perikanan (1997) mengatakan bahwa kedalaman perairan yang baik untuk budidaya rumput laut
Gracilaria verrucosa adalah 0,5-1,0 m pada waktu surut
terendah di lokasi yang berarus kencang.
Sementara kedalaman
perairan yang baik untuk budidaya dengan
metode lepas dasar antara 2-15 m dan
metode rakit apung antara 5-20 m. Kondisi
ini untuk menghindari rumput laut mengalami kekeringan dan mengoptimalkan
perolehan sinar matahari (Ditjen
perikanan, 1997)
8. Faktor
Biologi
Faktor biologi yang mempengaruhi pertumbuhan
rumput laut adalah organisme penempel
dan hewan herbivora. Hasil
penelitian Sulistijo (1985) nyatakan
bahwa tanaman penempel yang
terdapat pada rak percobaan baik yang terapung ataupun yang didasar pada
umumnya hampir sama dan juga ditemukan menempel pada tanaman yang dibudidayakan. Tanaman
penempel sebut antara lain
: Acanthopora sp.; Hypnea
sp.; Amphiroa sp.; Padina sp.; valonia sp.; Laurencia
sp.; Gelidiopsis
sp.; Caulerpa sp.; Sargassum sp.; lysiphonia sp. dan
Chaetomorpha sp.
Kehadiran tanaman ini sudah terjadi sejak
semula karena terbawa oleh bibit dari
alam berupa spora dan terbawa
arus. Sedangkan
hewan herbivore adalah ikan yang memanfaatkan alga yang dikultur sebagai makanannya seperti famili Pomancetridae,
Platacidae, dan Aluteridae.
Contoh ikan-ikan herbivora
sebut adalah ikan Bandeng (Chanos
chanos), ikan Beronang (Siganus sp.),
bulu babi (Diadema setosum) dan penyu (Chelonia
mydas) (Soegiarto et al 1977).
2.3 Perkembangbiakan Rumput Laut
Perkembangbiakan
rumput laut pada dasarnya terbagi 2 yaitu secara seksual dan aseksual. Pada
perkembangbiakan secara seksual, gametofit
jantan yang telah dewasa menghasilkan
sel-sel spermatangial yang nantinya menjadi
spermatangia. Sedangkan gametofit
betina menghasilkan sel
khusus yang disebut kapogonia yang dihasilkan dari cabang-cabang karpogonial. Perkembangbiakan
secara aseksual terdiri dari penyebaran tetraspora,
vegetatif dan konjugatif. sporofit
dewasa menghasilkan spora yang disebut tetraspora yang sesudah proses germinasi (berkecambah) tumbuh menjadi tanaman beralat kelamin, yaitu
gametofit jantan
dan gametofit
betina.
Perkembangan
secara vegetatif adalah dengan cara stek.
Potongan seluruh bagian dari thallus
akan membentuk percabangan baru dan tumbuh berkembang menjadi tanaman dewasa
(Poncomulyo, 2006).
Berikut gambar 2 daur hidup rumput
laut Gracilaria verrucosa:
Gambar 2.
Daur hidup rumput laut
(Mubarak, 1990)
2.4 Pertumbuhan Rumput Laut
Pertumbuhan
adalah perubahan ukuran suatu organisme
yang dapat berupa berat atau panjang dalam waktu tertentu. Pertumbuhan
rumput
laut sangat dipengaruhi oleh dua faktor yaitu
faktor internal dan faktor
eksternal. Faktor internal yang berpengaruh antara lain jenis,
galur, thallus (bibit) dan umur.
sedangkan faktor eksternal yang berpengaruh
antara lain lingkungan atau oseanografi, bobot bibit, jarak tanam dan
teknik penanaman (Kamlasi,
2008).
Pertumbuhan
rumput laut menunjukkan adanya pertumbuhan
besar, panjang serta cabang. Hal ini dikarenakan adanya pertumbuhan dari sel-sel yang menyusun rumput
laut tersebut. Perbanyakan sel-sel dapat terjadi karena pembelahan pada sel-sel yang menyusun rumput laut. Proses pembelahan sel ini mulai dengan pembelahan
intinya yang selanjutnya
terjadi pembelahan plasma atau pembelahan sel. Dalam pembelahan
sel ada tiga cara yaitu amitosis, mitosis dan miosis.
Budidaya rumput laut yang dilakukan oleh para petani atau nelayan kebanyakan menggunakan
dengan cara stek, karena pemilihan metode
ini bersifat mudah dan lebih murah
dari pada cara seksual. Thallus atau cabang yang diambil untuk metode ini adalah cabang yang masih
muda
(Sutrian, 2004).
2.5 Habitat dan Penyebaran Rumput Laut di
Indonesia
Gracilaria sp hidup di alam dengan
cara menempel pada substrat dasar airan atau benda
lainnya di daerah pasang surut. Bahkan di daerah Sulawesi. pada musim-musim tertentu rumput laut jenis Gracilaria sp.
banyak terdampar di pantai karena hempasan gelombang dalam jumlah
yang sangat besar dan berakibat over produksi. Anggadiredja (2007)
mengatakan Gracilaria sp. tersebar luas di panjang pantai daerah tropis dan umumnya tumbuh di
perairan yang mempunyai rataan terumbu karang, melekat pada substrat
karang mati atau kulit kerang dan
batu gamping di daerah intertidal dan
subtidal.
Rumput
laut yang umumnya dibudidayakan di
tambak di Indonesia adalah is Gracilaria
verrucosa dan Gracilaria gigas. Jenis ini berkembang di airan Sulawesi Selatan (Jeneponto, Takalar, Sinjai,
Bulukumba, Wajo, palopo, Bone, Maros), Pantai utara P. Jawa (Serang, Tangerang, Bekasi, karawang\, Brebes,
Pemalang, Tuban dan Lamongan) dan Lombok Barat. Rumput laut Gracilaria sp. umumnya dipanen dari hasil budidaya dan juga dari alam. Namun hasil dari alam memiliki kualitas budidaya kurang baik karena campur dengan jenis lain (Anonymous, 2005).
Pengetahuan tentang penyebaran
tiap-tiap spesies di wilayah Indonesia akan membantu dalam
menentukan spesies yang akan ditanam dan yang akan diteliti pada daerah tersebut. Perairan pantai yang potensial di Indonesia menyebabkan hampir seluruh
perairan pantai di tiap provinsi dapat ditumbuhi rumput laut. Beberapa jenis
rumput laut di Indonesia yang dimanfaatkan untuk ekspor yaitu dari marga Eucheuma sp.; Glacilaria sp.; Gelidium sp.
dan Hypnea
Berikut ini adalah jenis-jenis rumput
laut di Indonesia (Tabel 1).
Tabel 1.
Jenis-jenis rumput laut di Indonesia
Daerah
|
Jenis Rumput
Laut
|
Sumatra
Utara
|
Eucheuma
spinosum, Eucheuma edule.
|
Sumatra
Barat
|
Gracilaria
intricate, Gracilaria
coronopifolia, Gracilaria salikornia, Gracilaria arcuata, Gelidium sp.
|
Riau
|
Eucheuma
spinosum, Eucheuma edule, Gracilaria confervoides, Gracilaria cuchemioides, Gracilaria cylindrical, Gelidium amansii,
Hypnea cervicornis, Hypnea musciformis, Hypnea spp.
|
Bali
|
Gracilaria spp, Gelidium spp, Eucheuma spp.
|
Nusa
Tenggara
Barat
|
Gelidium
spp,
Gracilaria spp, Hypnea spp, Eucheuma
spinosum,
Eucheuma cottonii.
|
Nusa Tenggara
Timur
|
Eucheuma
spinosum, Eucheuma muricatum, Eucheuma edule, Eucheuma serra, Gracilaria rigida,
Gracilaria confervoides,
Gracilaria lichenoides, Gracilaria eucheumiodes, Gracilaria
verrucosa, Gelidium rigida, Gelidium letifolium, Hypnea
choroides,
Hypnea cornata, Hypnea musciformis.
|
Maluku
|
Eucheuma
spinosum, Eucheuma edule, Eucheuma cottonii,
Gracilaria blodgetti, Gracilaria
eucheumiodes, Gracilaria aruata, Hypnea cornata, Hypnea musciformis, Hypnea
nidulans.
|
Jawa
|
Eucheuma
cottonii, Eucheuma spinosum, Gracilaria verrucosa, Gracilaria confervoides, Gracilaria lichenoides, Hypnea cervicornis, Hypnea musciformis, Sargassum aquifolium,
Sargassum
polycstum, Turbinaria ornata, Turbinaria conoides.
|
Sumber : Hamid 2009
2.6 Penyakit Rumput Laut
Penyakit yang terjadi pada rumput laut pertama kali diketahui pada tahun 1974 di Filipina dengan gejala yang
dilaporkan adanya bercak pada thallus yang
infeksi dan selanjutnya berubah warna dan mati
kemudian hancur. Penyakit yang banyak menyerang tanaman
rumput laut Gracilaria sp. adalah Ice-ice.
penyakit ini ditandai dengan timbulnya bintik/bercak-bercak pada sebagian
thallus yang lama-kelamaan menjadi pucat dan berangsur-angsur menjadi putih dan akhirnya thallus
tersebut putus. Penyakit ini timbul karena adanya mikroba yang menyerang
tanaman rumput laut yang lemah.
Gejala yang diperlihatkan adalah pertumbuhan yang lambat, terjadinya perubahan warna menjadi pucat pada beberapa cabang menjadi putih dan membusuk (Direktorat Jenderal rikanan, 2004).
Trono (1974) menjelaskan adanya perubahan lingkungan (seperti arus, suhu dan
kecerahan) di lokasi budidaya dapat memicu
terjadinya penyakit ice-ice. ngkat penyerangannya terjadi dalam waktu yang cukup lama.
Selain itu relasi positif terjadinya penyakit ice-ice dikarenakan
keadaan lingkungan yang kurang mendukung,
diantaranya air yang tenang atau pergerakan arusnya lemah. bercak putih (ice-ice)
pada rumput laut merupakan penyakit yang timbul pada musim laut tenang dan arus
lemah diikuti dengan musim panas
yang dapat merusak areal tanaman sampai
mencapai
60-80% dan lamanya 1-2 bulan
(sulistijo 2002).
Direktorat Jenderal Perikanan (2004) menjelaskan
terjadinya penyakit ice-ice
dipengaruhi oleh berkembangnya jenis rumput laut lain yang menempel
atau epifit. Hal ini didahului dengan rendahnya unsur hara di perairan karena dengan berkembangnya rumput laut jenis lain akan
mengakibatkan penurunan unsure hara yang diperlukan oleh pertumbuhan. Sampai
saat ini belum ada metode yang dapat diterapkan untuk mengendalikan penyakit ice-ice. Untuk mengatasi hal
tersebut maka tanaman harus dipanen sesegera mungkin jika
telah terjangkit. Pencegahan penyakit dapat dilakukan dengan
monitor adanya perubahan-perubahan lingkungan. Selain itu dapat dilakukan penurunan posisi
tanaman lebih dalam untuk mengurangi
penetrasi cahaya sinar matahari.
Penelitian terhadap bakteri yang menyebabkan
penyakit pada rumput laut pernah
dilakukan oleh Laboratorium mikrobiologi P2O-LIPI dan hasilnya diduga
ada 8 jenis bakteri tersebut yang menimbulkan
penyakit ice-ice, ke-8 jenis bakteri tersebut adalah Pseudomonas gelatica, Pseudomonas
icthyodermis, baccillus
megaterium, Pseudomodas nigricaciens,
Pseudomonas fluorescens, brio vigranii, Bacillus cereus dan
Vibrio agarliquefaciens, namun tingkat ogenitas pada bakteri tersebut
belum diketahui juga. Kemudian
dilanjutkan dengan penelitian uji patogenitas dari 8 jenis bakteri tersebut yang hasilnya menunjukkan nya 5 bakteri yang dapat menimbulkan penyakit ice ice. Lima
bakteri tersebut adalah Pseudomodas nigricaciens, Pseudomonas fluorescens,
Vibrio vigranii, bacillus cereus
dan Vibrio agarliquefaciens. Sementara
bakteri Pseudomonas atica, Pseudomonas icthyodermis dan Bacillus megaterium tidak menyebabkan gejala penyakit ice ice.
Hasil uji patogenitas terhadap
kelima bakteri tersebut dilanjutkan
dan ditemukan yang memiliki daya patogenitas tertinggi adalah
Vibrio arliquefaciens (Nasution
2005). Cara membasmi penyakit ice-ice sampai saat belum diketahui, namun upaya
yang dilakukan untuk menghindari penyakit tersebut adalah dengan menghentikan
proses pembudidayaan rumput laut saat penyakit mulai ada.
2.7 Budidaya
Rumput Laut
1.
Pengadaan, Pemilihan dan Pemeliharaan Bibit
Bibit rumput laut yang baik untuk dibudidayakan adalah monospesies, muda, bersih dan segar. Zatnika (2009) menyatakan bibit
yang baik dicirikan dengan thallus yang
baik (muda, keras dan segar), warna
agak gelap (coklat- coklatan), usia minimal 2 minggu. Selanjutnya
pengumpulan, pengangkutan dan
penyimpanan bibit harus selalu dilakukan
dalam keadaan lembab serta hindar dari panas, minyak,
air tawar dan bahan kimia
lain (Kolang, 1996). Kualitas dan kuantitas
produksi budidaya rumput laut sangat ditentukan oleh
bibit rumput lautnya, sehingga kegiatan penyediaan bibit harus direncanakan
dan memperhatikan sumber perolehan.
Syahputra (2005) menjelaskan bahwa pemilihan bibit dalam budidaya
rumput laut merupakan hal yang sangat penting. Hal-hal yang perlu diperhatikan alah sebagai
berikut :
1. Bibit yang berupa stek dipilih dari
tanaman yang segar, dapat
diambil dari tanaman yang tumbuh secara alami ataupun dari tanaman bekas budidaya. Selain itu, bibit harus baru dan masih muda.
2. Bibit unggul memiliki ciri bercabang banyak
3. Bibit sebaiknya dikumpulkan dari perairan pantai sekitar lokasi usaha budidaya dalam jumlah yang sesuai dengan luas area budidaya.
4. Pengangkutan bibit harus dilakukan
dengan hati-hati dan cermat, dimana
bibit harus tetap dalam keadaan basah ataupun terendam air.
5. Sebelum ditanam, bibit dikumpulkan pada tempat tertentu seperti dikeranjang atau jaring yang bermata kecil.
Sulistijo (2002) menyatakan bahwa rumput yang baik adalah
bercabang banyak dan rimbun, tidak
terdapat penyakit bercak putih dan mulus tanpa ada cat terkelupas. Bibit rumput
laut yang terpilih tidak lebih dari 24 jam penyimpanan ditempat kering
dan harus terlindung dari sinar matahari
juga pencemaran (terutama minyak) dan tidak boleh direndam air
laut dalam wadah. Indriani dan Sumiarsih
(1999) menyatakan bahwa bibit yang diperoleh dari bagian ujung
tanaman (muda) umumnya memberikan
pertumbuhan yang baik dan hasil
panen dan
memiliki kandungan agar yang lebih tinggi dibandingkan dengan bibit dari
sisa hasil panen atau tanaman tua.
Zatnika (2009) menyatakan saat yang baik untuk penebaran maupun penanaman bibit adalah pada saat cuaca teduh (tidak mendung) dan yang paling baik adalah pagi hari atau sore hari menjelang
malam.
Tahap pemeliharaan dilakukan
seminggu
setelah penanaman, bibit yang ditanam harus diperiksa dan dipelihara dengan baik melalui pengawasan yang teratur dan kontinyu.
Bila kondisi perairan kurang baik, seperti ombak yang keras, angin serta suasana perairan yang dipengaruhi musim hujan atau
kemarau, maka perlu pengawasan 2-3
hari sekali, sedangkan hal lain yang penting
diperhatikan adalah menghadapi
serangan predator dan penyakit (Zatnika, 2009).
BAB III METODE PENELITIAN
3.1 Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini akan dilaksanakan pada bulan September-Oktober 2017 di Desa
Muladimeng, Kec. Ponrang,
Kabupaten Luwu, Provinsi Sulawesi selatan.
3.2 Alat dan Bahan yang Akan Digunakan
1. Alat yang akan digunakan selama
proses penelitian
No Alat Kegunaan
1.
Tambak
Wadah
untuk penelitian
2.
Tali Pengikat bibit
3.
Tiang Penopang
tali bantalan
4.
pH
Meter Untuk
mengukur pH dalam air
5.
Hand
Refractometer Mengukur salinitas
6.
Theromometer Mengukur suhu
7.
Timbangan elektrik Untuk
menimbang
8.
Kamera
digital Dokumentasi
2.
Bahan yang digunakan selama proses penelitian
No Bahan Kegunaan
1.
Bibit rumput laut sebagai bahan uji
3.3 Prosedur Penelitian
1.
Persiapan bibit
Rumput yang digunakan
dalam penelitian ini adalah rumput
laut gracillaria verrucosa. Wadah
yang akan digunakan berupa tambak tradisional yang berada di desa muladimeng,
Kab. Luwu
Air yang digunakan dalam penelitian
ini merupakan air dari pasang surut yang sebagai pergantian air yang ada
ditambak dengan menggunakan metode pergantian air untuk menjaga kualitas air
agar tetap terkontrol.. Pergantian air
akan dilakukan selama 3 kali dalam seminggu
2.
Perlakuan penelitian
Penelitian
ini terdiri dari 4 perlakuan dengan 3 kali ulangan. Masing-masing perlakuan
memiliki biomassa, salinitas, suhu, pH, volume air serta wadah penelitian yang
sama tetapi umur bibit yang akan digunakan berbeda,
Adapun
umur bibit yang akan digunakan dalam penelitian ini yaitu:
1. Bibit gracillaria umur 15 hari
2. Bibit gracillaria umur 25 hari
3. Bibit gracillaria umur 20 hari
4. Bibit gracillaria umur 30 hari
3.
Analisis data
Penelitian ini menggunakan
Rancangan Acak Kelompok (RAK) dengan 4 perlakuan yang diulang sebanyak
3 kali.
Letak masing-masing perlakuan RAK dalam penelitian ini setelah di lot adalah sebagai berikut :
A1
|
B3
|
C1
|
C4
|
B1
|
|
B2
|
B4
|
A3
|
C3
|
C2
|
4.
Rumus
Laju Pertumbuhan
Data penelitian pertumbuhan rumput laut Gracilaria sp yang akan dikumpulkan meliputi pertumbuhan bobot biomassa, laju pertumbuhan harian,
dan kualitas air. Pertumbuhan diukur secara periodik seminggu sekali dari
persiapan hingga pemanenan Menurut Effendi (1979), laju pertumbuhan relatif
dapat dihitung dengan rumus:
𝑊𝑡 – 𝑊𝑜 𝑥 100%
𝑊𝑜 𝑥 𝑡
Keterangan : RGR : Relative Growth
Rate (%/hari)
Wt : Berat akhir uji pada akhir penelitian (g)
Wo : Berat awal uji pada akhir penelitian (g)
t : lama penelitian (hari)
Laju pertumbuhan harian adalah presentase dari
selisih berat akhir dan berat awal yang di bagi lamanya waktu penanaman. Hal
ini sesuai dengan rumus dari Foog (1975)
yaitu:
𝑆𝐺𝑅 = ln 𝑊𝑡− ln 𝑊𝑜 𝑥 100%/ℎ𝑎𝑟𝑖
𝑇
Keterangan : SGR : Laju
pertumbuhan spesifik (%/hari)
Wo : Bobot
tanaman uji pada awal pemeliharaan (g)
Wt : Bobot
tanaman uji pada akhir pemeliharaan (g)
T : Waktu
pemeliharaan
DAFTAR PUSTAKA
Annonymus. 2005, Prospect and Perspective of the Seaweed
Industry for Building Capacities of Lokal Communities to Cope with
Globalization (presentasi). Seaweed
Industry Association of the Philipines. Manila.
Aggadiredja, J.T. 2007.
Prospek Pasar Rumput Laut
Indonesia di Pasar Global. Makalah disampaikan pada Lokakarya Implementasi Program Berkelanjutan Sulawesi Selatan
Menuju Sentra Rumput Laut Dunia. Tanggal 7 Mei 2007. Makassar.
Atmadja, W. S., A.
Kadi., Sulistijo, dan
Rachmaniar. 1996. Pengenalan Jenis- Jenis Rumput
Laut Indonesia. Puslitbang
Oseanologi. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Jakarta.
chapman, V.J., and D.J. Chapman,1980. Seaweeds
and Their Uses 3 edition. Chapman and Hall, New York.
Direktorat Jenderal Perikanan. 2004.
Hama dan Penyakit Rumput
Laut. Ditjen ` Perikanan. Jakarta.
Direktorat Jenderal Perikanan.
1997. Pedoman Teknis Pemilihan
Lokasi ` Budidaya Rumput
Laut. Ditjen Perikanan. Jakarta.
Effendi, H., 2003. Telaah Kualitas Air. Kanisisus. Yogyakarta.Fardiaz, S., 1992. Polusi
Air dan Udara. Kanisisus.
Yogyakarta.
Hamid 2009. Pengaruh Berat Bibit Awal dengan Metode Apung (Floating method) Terhadap Persentase Pertumbuhan
Harian Rumput Laut. Skripsi (tidak
dipublikasikan). Program sarjana,
Universitas Islam Negeri.
Malang.
Hutabarat dan Evans. 2001.
Pengantar Oseanografi.
Universitas Indonesia. Jakarta.
Kamlasi, Y. 2008.
Kajian Ekologis Dan Biologi
Untuk Pengembangan Budidaya Rumput Laut (Eucheuma
cotonii) Di Kecamatan Kupang Barat Kabupaten Kupang Propinsi
Nusa Tenggara Timur.
Tesis (tidak dipublikasikan). Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Indriani H, Sumiarsih, E. 1999.
Budidaya, Pengolahan, dan Pemasaran Rumput Laut (cetakan 7), Penebar Swadaya, Jakarta.
Muubarak, H., 1990. Petunjuk Teknis Budidaya Rumput Laut.
Pusat Penelitian dan
Pengembangan Perikanan Badan
Penelitian dan Pengembangan
Pertanian. Jakarta.
Nibakken, J., W., 2000. Biologi Laut
Suatu Pendekatan Ekologi. PT. Gramedia.
Jakarta.
Puncomulyo,
T,. 2006. Budi Daya Dan Pengolahan Rumput Laut.
PT Agro Media Pustaka.
Jakarta.
Romimohtarto, K., dan Juwana, S.,
2001. Pengelolaan Sumberdaya
Wilayah Pesisir Secara Berkelanjutan.
Djambatan. Jakarta
suegiarto A. Sulistijo, dan W. S. Atmadja. 1977.
Pertumbuhan Alga Laut Eucheuma
spinosum pada Berbagai Kedalaman. Oseanologi Indonesia, 8:11-18.
Sulistijo. 1985.
Budidaya Rumput Laut. Lembaga Oseanologi Nasional. Lembaga
Ilmu Pengetahuan Indonesia. Jakarta.
Sulistijo. 2002.
Penelitian Budidaya Rumput Laut (Algae Makro/Seaweed) di Indonesia. Pidato Pengukuhan Ahli Penelitian Utama Bidang Akuakultur,
Pusat Penelitian Oseanografi Lembaga
Ilmu Pengetahuan Indonesia. Jakarta.
Sulistijo dan W.
S. Atmadja. 1996. Perkembangan budidaya Rumput Laut di Indonesia. Puslitbang
Oseanografi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia.
Jakarta.
Trono, G. C.
1974. A Review of The Production
Technologies of Tropical Species
of Economic Seaweeds. Technical
Research Reports. Marine
Science Institute, University of the ` Philippines.
Manila. Widodo dan Suadi. 2006.
Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Laut. Yogyakarta.
Zatnika, A. 2009.
Pedoman Teknis Budidya Rumput Laut. Badan Pengkajian dan
Penerapan Teknologi. Jakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar