dunia perikanan

Kamis, 02 Agustus 2018

contoh proposal analisis pengaruh kedalaman terhadap pertumbhan gracillaria


BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1       Klasifikasi dan Morfologi Rumput Laut
Sinulingga (2006) mengklasifikasikan Gracilaria verrucosa dalam sonomi sebagai berikut :
Kingdom  :  Plantae
Visi : Rhodophyta
       Class : Rhodophyceae
                  Ordo : Gigartinales
                 Familia : Gracilariaceae
                             Genus : Gracilaria
                                   Spesies : Gracilaria verrucosa

 
Gambar 1.  Gracilaria verrucosa

Rumput laut memiliki morfologi yang tidak memperlihatkan adanya perbedaan antara akar, batang dan daun. Secara kesuluruhan, tanaman ini mempunyai struktur tubuh yang mirip, walaupun sebenarnya berbeda, yang diebut sebagai thallus. Ciri morfologi Gracilaria sp. adalah thallus yang menyerupai silinder,  licin, berwarna coklat atau kuning hijau, percabangan tidak aturan memusat di bagian pangkal dan bercabang lateral memanjang menyerupai rambut dengan ukuran panjang berkisar 15-30 cm (Ditjen perikanan, 2004).  Berikut Gambar 1 Gracilaria verrucosa:
2.2    Ekologi Gracilaria verrucosa
Rumput laut (Gracilaria verrucosa) umumnya terdapat di daerah dengan kondisi tertentu.  Kebanyakan tumbuh di daerah pasang surut (intertidal) atau daerah yang selalu terendam air (subtidal) melekat pada substrat di dasar aliran yang berupa karang batu mati, karang batu hidup, batu gamping atau cangkang molusca. Umumnya genus Gracilaria sp. tumbuh dengan baik didaerah pantai terumbu (reef). Hal ini dikarenakan pada tempat tersebut beberapa syaratan untuk pertumbuhan rumput laut dapat terpenuhi, diantaranya adalah tor kedalaman perairan, cahaya, substrat dan pergerakan air. Habitat khas rumput laut adalah daerah yang memperoleh aliran air laut tetap.  Gracilaria sp. menyukai variasi suhu harian yang kecil dan substrat batu karang yang mati. rumput laut ini tumbuh mengelompok dengan berbagai jenis rumput laut lainnya.
Berbagai faktor lingkungan seperti cahaya, suhu, salinitas, pH, zat hara dan faktor biologis, berpengaruh penting pada laju pertumbuhan dan tingkat kelangsungan hidup rumput laut.  Uraian di bawah ini menjelaskan betapa pentingnya faktor lingkungan bagi rumput laut Gracilaria verrucosa.
1.    Suhu
Suhu perairan merupakan salah satu faktor yang sangat penting dalam mempelajari gejala-gejala fisika air laut pada perairan yang dapat mempengaruhi kehidupan hewan dan tumbuhan pada suatu perairan.  Kemampuan adaptasi rumput laut Gracilaria sp. terhadap suhu bervariasi, tergantung dimana rumput tersebut hidup sehingga dimungkinkan akan tumbuh subur pada daerah yang sesuai dengan suhu pertumbuhannya. Suhu yang optimal untuk pertumbuhan mput laut Gracilaria verrucosa adalah berkisar antara 20-28°C (Zatnika, 2009)

2.    Salinitas
Salinitas merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi pertumbuhan rumput laut.  Kondisi salinitas yang baik untuk pertumbuhan rumput laut yaitu kisar antara 15-34 ppt (Zatnika, 2009).  Dahuri (2002) menjelaskan bahwa secara umum salinitas permukaan perairan Indonesia rata-rata berkisar antara 32– ppt.  Selanjutnya ditambahkan oleh Sutika (1989) bahwa salinitas air laut pada umnya berkisar antara 33 ppt sampai 37 ppt dan dapat berubah berdasarkan
waktu dan ruang.  Nilai salinitas sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain suplai air tawar ke air laut, curah hujan, musim, topografi, pasang surut dan aporasi (Nybakken, 2000).  Selain itu Nontji (1993) juga menyatakan bahwa sebaran salinitas dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti pola sirkulasi air, penguapan, curah hujan dan aliran sungai.
3.    Derajat Keasaman (pH)
Pemilihan lokasi untuk budidaya Gracillaria verrucosa, harus memperhatikan faktor biologis, fisika dan kimiawi.  Salah satu faktor kimiawi tersebut adalah pH.  Pertumbuhan rumput laut memerlukan pH air laut optimal yang berkisar antara 6-9 (Zatnika, 2009).  Chapman (1962 in Supit 1989) menyatakan bahwa hampir seluruh rumput laut menyukai kisaran pH 6,8-9,6 sehingga variasi pH yang tidak terlalu besar tidak akan menjadi masalah bagi pertumbuhan rumput laut.
4.    Oksigen Terlarut (DO)
Oksigen terlarut (DO) merupakan salah satu faktor yang sangat penting bagi organisme air.  DO biasanya dijumpai dalam konsentrasi tinggi pada lapisan permukaan karena adanya proses difusi oksigen dari udara ke dalam air. organisme fotosintetik seperti fitoplankton juga membantu menambah jumlah oksigen terlarut pada lapisan permukaan diwaktu siang hari.  Penambahan disebabkan oleh terlepasnya gas oksigen sebagai hasil dari fotosintesis.
larutan oksigen di perairan sangat penting dalam mempengaruhi setimbangan kimia air laut dan juga dalam kehidupan organisme.  Selain itu oksigen dibutuhkan oleh hewan dan tanaman air termasuk mikroorganisme untuk proses respirasinya.
Effendi (2003) menjelaskan bahwa hubungan antara kadar oksigen terlarut dengan suhu berbanding terbalik, semakin tinggi suhu maka kelarutan oksigen dan gas-gas lain juga berkurang dengan meningkatnya salinitas. sehingga kadar oksigen terlarut di laut cenderung lebih rendah dari pada kadar oksigen di perairan tawar.  Selanjutnya dikatakan bahwa peningkatan suhu besar 1˚C akan meningkatkan konsumsi oksigen sekitar 10%.
Sutika (1989) juga mengatakan bahwa pada dasarnya proses penurunan oksigen dalam air disebabkan oleh proses kimia, fisika dan biologi.  Proses-proses sebut antara lain proses respirasi baik oleh hewan maupun tanaman serta proses nguraian (dekomposisi) bahan organik dan proses penguapan.  Kelarutan oksigen ke dalam air terutama dipengaruhi oleh faktor suhu, oleh karena itu kelarutan gas oksigen pada suhu rendah relative lebih tinggi jika dibandingkan dengan suhu tinggi.  Hal ini didukung oleh Fardiaz (1992) yang menyatakan bahwa kejenuhan oksigen dalam air dipengaruhi oleh suhu air, dimana semakin tinggi  suhu maka konsentrasi oksigen terlarut semakin turun.  Konsentrasi dan distribusi oksigen di laut ditentukan oleh kelarutan gas oksigen dalam air dan proses biologis yang mengontrol tingkat konsumsi dan pembebasan oksigen.
Sulistijo dan Atmadja (1996) menyatakan bahan baku mutu DO untuk rumput laut adalah lebih dari 5 mg/l.  Hal ini berarti jika oksigen terlarut dalam airan mencapai 5 mg/l maka metabolisme rumput laut dapat berjalan dengan optimal.  Buesa (1977 in Iksan 2005) menyatakan perubahan oksigen harian dapat terjadi di perairan dan bisa berakibat nyata terhadap pertumbuhan rumput laut. namun kadar oksigen biasanya selalu cukup untuk proses metabolisme rumput (Chapman 1962 in Iksan 2005).
5.    Kecerahan
Cahaya matahari adalah merupakan sumber energi dalam proses fotosintesis.  Pada proses fotosintesis terjadi pembentukan bahan organic yang diperlukan bagi pertumbuhan dan perkembangan.  Widodo dan Suadi (2006) menyatakan bahwa cahaya menyediakan energi bagi terlaksananya fotosintesis, hingga kemampuan penetrasi cahaya pada kedalaman tertentu sangat menentukan distribusi vertikal organisme perairan.  Hal yang berhubungan erat dengan penetrasi cahaya yaitu kecerahan perairan.
Kecerahan perairan yang ideal lebih dari 1 m.  Air yang keruh (biasanya mengandung lumpur) dapat menghalangi tembusnya cahaya matahari di dalam air hingga proses fotosintesis menjadi terganggu.  Hal ini akan berdampak buruk hadap pertumbuhan dan perkembangan rumput laut (Ditjen perikanan, 1997)
6.    Intensitas Cahaya
Radiasi matahari menentukan intensitas cahaya pada suatu kedalaman tentu dan juga sangat mempengaruhi suhu perairan.  Cahaya sinar matahari yang menembus permukaan air berperan penting dalam produktivitas perairan. cahaya mempunyai pengaruh besar terhadap biota laut yaitu sebagai sumber energi untuk proses fotosintesis tumbuh-tumbuhan (Romimohtarto dan Juwana,2001).
Hutabarat dan Evans (2001) mengatakan bahwa penyinaran cahaya
matahari akan berkurang secara cepat sesuai dengan makin tingginya kedalaman airan. Adanya bahan-bahan yang melayang dan tingginya nilai kekeruhan di perairan dekat pantai akan menyebabkan berkurangnya penetrasi cahaya di tempat tersebut.  Intensitas cahaya yang diterima sempurna oleh thallus merupakan faktor utama dalam proses fotosintesis yang menentukan tingkat pertumbuhan rumput laut.  Penetrasi cahaya lebih optimal bila menggunakan metode terapung dalam pembudidayaan rumput laut.
7.    Kedalaman
Direktorat jenderal perikanan (1997) mengatakan bahwa kedalaman perairan yang baik untuk budidaya rumput laut Gracilaria verrucosa adalah 0,5-1,0 m pada waktu surut terendah di lokasi yang berarus kencang. Sementara kedalaman perairan yang baik untuk budidaya dengan metode lepas dasar antara 2-15 m dan metode rakit apung antara 5-20 m.  Kondisi ini untuk menghindari rumput laut mengalami kekeringan dan mengoptimalkan perolehan sinar matahari (Ditjen perikanan, 1997)
8.    Faktor Biologi
Faktor biologi yang mempengaruhi pertumbuhan rumput laut adalah organisme penempel dan hewan herbivora. Hasil penelitian Sulistijo (1985) nyatakan bahwa tanaman penempel yang terdapat pada rak percobaan baik yang terapung ataupun yang didasar pada umumnya hampir sama dan juga ditemukan menempel pada tanaman yang dibudidayakan.  Tanaman penempel sebut antara lain : Acanthopora sp.; Hypnea sp.; Amphiroa sp.; Padina sp.; valonia sp.; Laurencia sp.; Gelidiopsis sp.; Caulerpa sp.; Sargassum sp.; lysiphonia sp. dan Chaetomorpha sp.
Kehadiran tanaman ini sudah terjadi sejak semula karena terbawa oleh bibit dari alam berupa spora dan terbawa arus.  Sedangkan hewan herbivore adalah ikan yang memanfaatkan alga yang dikultur sebagai makanannya seperti famili Pomancetridae, Platacidae, dan Aluteridae.  Contoh ikan-ikan herbivora sebut adalah ikan Bandeng (Chanos chanos), ikan Beronang (Siganus sp.), bulu babi (Diadema setosum) dan penyu (Chelonia mydas) (Soegiarto et al 1977).
2.3    Perkembangbiakan Rumput Laut
Perkembangbiakan rumput laut pada dasarnya terbagi 2 yaitu secara seksual dan aseksual.  Pada perkembangbiakan secara seksual, gametofit jantan yang telah dewasa menghasilkan sel-sel spermatangial yang nantinya menjadi spermatangia. Sedangkan gametofit betina menghasilkan sel khusus yang disebut kapogonia yang dihasilkan dari cabang-cabang karpogonial. Perkembangbiakan secara aseksual terdiri dari penyebaran tetraspora, vegetatif dan konjugatif. sporofit dewasa menghasilkan spora yang disebut tetraspora yang sesudah proses germinasi (berkecambah) tumbuh menjadi tanaman beralat kelamin, yaitu
gametofit jantan dan gametofit betina.
Perkembangan secara vegetatif adalah dengan cara stek.  Potongan seluruh bagian dari thallus akan membentuk percabangan baru dan tumbuh berkembang menjadi tanaman dewasa (Poncomulyo, 2006). 


 


Berikut gambar 2 daur hidup rumput laut Gracilaria verrucosa:

Gambar 2.  Daur hidup rumput laut (Mubarak, 1990)
2.4   Pertumbuhan Rumput Laut
Pertumbuhan adalah perubahan ukuran suatu organisme yang dapat berupa berat atau panjang dalam waktu tertentu.  Pertumbuhan rumput laut sangat dipengaruhi oleh dua faktor yaitu faktor internal dan faktor eksternal.  Faktor  internal yang berpengaruh antara lain jenis, galur, thallus (bibit) dan umur. sedangkan faktor eksternal yang berpengaruh antara lain lingkungan atau oseanografi, bobot bibit, jarak tanam dan teknik penanaman (Kamlasi, 2008).
Pertumbuhan rumput laut menunjukkan adanya pertumbuhan besar, panjang serta cabang.  Hal ini dikarenakan adanya pertumbuhan dari sel-sel yang  menyusun rumput laut tersebut.  Perbanyakan sel-sel dapat terjadi karena pembelahan pada sel-sel yang menyusun rumput laut.  Proses pembelahan sel ini mulai dengan pembelahan intinya yang selanjutnya terjadi pembelahan plasma atau pembelahan sel.  Dalam pembelahan sel ada tiga cara yaitu amitosis, mitosis dan miosis.
Budidaya rumput laut yang dilakukan oleh para petani atau nelayan kebanyakan menggunakan dengan cara stek, karena pemilihan metode ini bersifat mudah dan lebih murah dari pada cara seksual. Thallus atau cabang yang diambil untuk metode ini adalah cabang yang masih muda (Sutrian, 2004). 
2.5   Habitat dan Penyebaran Rumput Laut di Indonesia
Gracilaria sp hidup di alam dengan cara menempel pada substrat dasar airan atau benda lainnya di daerah pasang surut.  Bahkan di daerah Sulawesi. pada musim-musim tertentu rumput laut jenis Gracilaria sp. banyak terdampar di pantai karena hempasan gelombang dalam jumlah yang sangat besar dan berakibat over produksi.  Anggadiredja (2007) mengatakan Gracilaria sp. tersebar luas di panjang pantai daerah tropis dan umumnya tumbuh di perairan yang mempunyai rataan terumbu karang, melekat pada substrat karang mati atau kulit kerang dan batu gamping di daerah intertidal dan subtidal.
         Rumput laut yang umumnya dibudidayakan di tambak di Indonesia adalah is Gracilaria verrucosa dan Gracilaria gigas.  Jenis ini berkembang di airan Sulawesi Selatan (Jeneponto, Takalar, Sinjai, Bulukumba, Wajo, palopo, Bone, Maros), Pantai utara P. Jawa (Serang, Tangerang, Bekasi, karawang\, Brebes, Pemalang, Tuban dan Lamongan) dan Lombok Barat. Rumput laut Gracilaria sp. umumnya dipanen dari hasil budidaya dan juga dari alam. Namun hasil dari alam memiliki kualitas budidaya kurang baik karena campur dengan jenis lain (Anonymous, 2005).
Pengetahuan tentang penyebaran tiap-tiap spesies di wilayah Indonesia akan membantu dalam menentukan spesies yang akan ditanam dan yang akan diteliti pada daerah tersebut.  Perairan pantai yang potensial di Indonesia menyebabkan hampir seluruh perairan pantai di tiap provinsi dapat ditumbuhi rumput laut.  Beberapa jenis rumput laut di Indonesia yang dimanfaatkan untuk ekspor yaitu dari marga Eucheuma sp.; Glacilaria sp.; Gelidium sp. dan Hypnea
Berikut ini adalah jenis-jenis rumput laut di Indonesia (Tabel 1).
Tabel 1. Jenis-jenis rumput laut di Indonesia
Daerah
Jenis Rumput Laut
Sumatra Utara
Eucheuma spinosum, Eucheuma edule.

Sumatra Barat
Gracilaria intricate, Gracilaria coronopifolia, Gracilaria salikornia, Gracilaria arcuata, Gelidium sp.

Riau
Eucheuma spinosum, Eucheuma edule, Gracilaria confervoides, Gracilaria cuchemioides, Gracilaria cylindrical, Gelidium amansii, Hypnea cervicornis, Hypnea musciformis, Hypnea spp.
Bali
Gracilaria spp, Gelidium spp, Eucheuma spp.
Nusa Tenggara
Barat
Gelidium spp, Gracilaria spp, Hypnea spp, Eucheuma
spinosum, Eucheuma cottonii.


Nusa Tenggara
Timur
Eucheuma spinosum, Eucheuma muricatum, Eucheuma edule, Eucheuma serra, Gracilaria rigida, Gracilaria confervoides, Gracilaria lichenoides, Gracilaria eucheumiodes, Gracilaria verrucosa, Gelidium rigida, Gelidium letifolium, Hypnea
choroides, Hypnea cornata, Hypnea musciformis.


Maluku
Eucheuma spinosum, Eucheuma edule, Eucheuma cottonii, Gracilaria blodgetti, Gracilaria eucheumiodes, Gracilaria aruata, Hypnea cornata, Hypnea musciformis, Hypnea
nidulans.


Jawa
Eucheuma cottonii, Eucheuma spinosum, Gracilaria verrucosa, Gracilaria confervoides, Gracilaria lichenoides, Hypnea cervicornis, Hypnea musciformis, Sargassum aquifolium,
Sargassum polycstum, Turbinaria ornata, Turbinaria conoides.
Sumber : Hamid 2009
2.6  Penyakit Rumput Laut
Penyakit yang terjadi pada rumput laut pertama kali diketahui pada tahun 1974 di Filipina dengan gejala yang dilaporkan adanya bercak pada thallus yang infeksi dan selanjutnya berubah warna dan mati kemudian hancur.  Penyakit yang banyak menyerang tanaman rumput laut Gracilaria sp. adalah Ice-ice. penyakit ini ditandai dengan timbulnya bintik/bercak-bercak pada sebagian thallus yang lama-kelamaan menjadi pucat dan berangsur-angsur menjadi putih dan akhirnya thallus tersebut putus. Penyakit ini timbul karena adanya mikroba yang menyerang tanaman rumput laut yang lemah.  Gejala yang diperlihatkan adalah pertumbuhan yang lambat, terjadinya perubahan warna menjadi pucat  pada beberapa cabang menjadi putih dan membusuk (Direktorat Jenderal rikanan, 2004).
Trono (1974) menjelaskan adanya perubahan lingkungan (seperti arus, suhu dan kecerahan) di lokasi budidaya dapat memicu terjadinya penyakit ice-ice. ngkat penyerangannya terjadi dalam waktu yang cukup lama.  Selain itu relasi positif terjadinya penyakit ice-ice dikarenakan keadaan lingkungan yang kurang mendukung, diantaranya air yang tenang atau pergerakan arusnya lemah. bercak putih (ice-ice) pada rumput laut merupakan penyakit yang timbul pada musim laut tenang dan arus lemah diikuti dengan musim panas yang dapat merusak areal tanaman sampai mencapai 60-80% dan lamanya 1-2 bulan (sulistijo 2002).
Direktorat Jenderal Perikanan (2004) menjelaskan terjadinya penyakit ice-ice dipengaruhi oleh berkembangnya jenis rumput laut lain yang menempel atau epifit.  Hal ini didahului dengan rendahnya unsur hara di perairan karena dengan berkembangnya rumput laut jenis lain akan mengakibatkan penurunan unsure hara yang diperlukan oleh pertumbuhan. Sampai saat ini belum ada metode yang dapat diterapkan untuk mengendalikan penyakit ice-ice. Untuk mengatasi hal tersebut maka tanaman harus dipanen sesegera mungkin jika telah terjangkit.  Pencegahan penyakit dapat dilakukan dengan monitor adanya perubahan-perubahan lingkungan.  Selain itu dapat dilakukan penurunan posisi tanaman lebih dalam untuk mengurangi penetrasi cahaya sinar matahari.
Penelitian terhadap bakteri yang menyebabkan penyakit pada rumput laut pernah dilakukan oleh Laboratorium mikrobiologi P2O-LIPI dan hasilnya diduga ada 8 jenis bakteri tersebut yang menimbulkan penyakit ice-ice, ke-8 jenis bakteri tersebut adalah Pseudomonas gelatica, Pseudomonas icthyodermis, baccillus megaterium, Pseudomodas nigricaciens, Pseudomonas fluorescens, brio vigranii, Bacillus cereus dan Vibrio agarliquefaciens, namun tingkat ogenitas pada bakteri tersebut belum diketahui juga.  Kemudian dilanjutkan dengan penelitian uji patogenitas dari 8 jenis bakteri tersebut yang hasilnya menunjukkan nya 5 bakteri yang dapat menimbulkan penyakit ice ice.  Lima bakteri tersebut adalah Pseudomodas nigricaciens, Pseudomonas fluorescens, Vibrio vigranii, bacillus cereus dan Vibrio agarliquefaciens.  Sementara bakteri Pseudomonas atica, Pseudomonas icthyodermis dan Bacillus megaterium tidak menyebabkan gejala penyakit ice ice.  Hasil uji patogenitas terhadap kelima bakteri tersebut dilanjutkan dan ditemukan yang memiliki daya patogenitas tertinggi adalah Vibrio arliquefaciens (Nasution 2005). Cara membasmi penyakit ice-ice sampai saat belum diketahui, namun upaya yang dilakukan untuk menghindari penyakit tersebut adalah dengan menghentikan proses pembudidayaan rumput laut saat penyakit mulai ada.
2.7  Budidaya Rumput Laut
1.    Pengadaan, Pemilihan dan Pemeliharaan Bibit
Bibit rumput laut yang baik untuk dibudidayakan adalah monospesies,  muda, bersih dan segar. Zatnika (2009) menyatakan bibit yang baik dicirikan dengan thallus yang baik (muda, keras dan segar), warna agak gelap (coklat- coklatan), usia minimal 2 minggu. Selanjutnya pengumpulan, pengangkutan dan penyimpanan bibit harus selalu dilakukan dalam keadaan lembab serta hindar dari panas, minyak, air tawar dan bahan kimia lain (Kolang, 1996). Kualitas dan kuantitas produksi budidaya rumput laut sangat ditentukan oleh bibit rumput lautnya, sehingga kegiatan penyediaan bibit harus direncanakan dan memperhatikan sumber perolehan.
Syahputra (2005) menjelaskan bahwa pemilihan bibit dalam budidaya rumput laut merupakan hal yang sangat penting.  Hal-hal yang perlu diperhatikan alah sebagai berikut :
1.    Bibit yang berupa stek dipilih dari tanaman yang segar, dapat diambil dari tanaman yang tumbuh secara alami ataupun dari tanaman bekas budidaya. Selain itu, bibit harus baru dan masih muda.
2.    Bibit unggul memiliki ciri bercabang banyak
3.    Bibit sebaiknya dikumpulkan dari perairan pantai sekitar lokasi usaha budidaya dalam jumlah yang sesuai dengan luas area budidaya.
4.    Pengangkutan bibit harus dilakukan dengan hati-hati dan cermat, dimana bibit harus tetap dalam keadaan basah ataupun terendam air.
5.    Sebelum ditanam, bibit dikumpulkan pada tempat tertentu seperti dikeranjang atau jaring yang bermata kecil.
Sulistijo (2002) menyatakan bahwa rumput yang baik adalah bercabang banyak dan rimbun, tidak terdapat penyakit bercak putih dan mulus tanpa ada cat terkelupas. Bibit rumput laut yang terpilih tidak lebih dari 24 jam penyimpanan ditempat kering dan harus terlindung dari sinar matahari juga pencemaran (terutama minyak) dan tidak boleh direndam air laut dalam wadah. Indriani dan Sumiarsih (1999) menyatakan bahwa bibit yang diperoleh dari bagian ujung tanaman (muda) umumnya memberikan pertumbuhan yang baik dan hasil panen  dan memiliki kandungan agar yang lebih tinggi dibandingkan dengan bibit dari sisa hasil panen atau tanaman tua.
Zatnika (2009) menyatakan saat yang baik untuk penebaran maupun penanaman bibit adalah pada saat cuaca teduh (tidak mendung) dan yang paling baik adalah pagi hari atau sore hari menjelang malam.  Tahap pemeliharaan dilakukan seminggu setelah penanaman, bibit yang ditanam harus diperiksa dan dipelihara dengan baik melalui pengawasan yang teratur dan kontinyu.  Bila kondisi perairan kurang baik, seperti ombak yang keras, angin serta suasana perairan yang dipengaruhi musim hujan atau kemarau, maka perlu pengawasan 2-3 hari sekali, sedangkan hal lain yang penting diperhatikan adalah menghadapi serangan predator dan penyakit (Zatnika, 2009).

          

BAB III METODE PENELITIAN
3.1   Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini akan dilaksanakan pada bulan September-Oktober 2017 di Desa  Muladimeng, Kec. Ponrang,  Kabupaten Luwu, Provinsi Sulawesi selatan.
3.2    Alat dan Bahan yang Akan Digunakan
1.    Alat yang akan digunakan selama proses penelitian
No              Alat                                                      Kegunaan
1.    Tambak                                                Wadah untuk penelitian
2.    Tali                                                       Pengikat bibit
3.    Tiang                                                     Penopang tali bantalan
4.    pH Meter                                              Untuk mengukur pH dalam air
5.    Hand Refractometer                           Mengukur salinitas
6.    Theromometer                                     Mengukur suhu
7.    Timbangan elektrik                               Untuk menimbang
8.    Kamera digital                                      Dokumentasi  


2.    Bahan yang digunakan selama proses penelitian


No               Bahan                                                  Kegunaan
1.          Bibit rumput laut                             sebagai bahan uji





3.3    Prosedur Penelitian
1.    Persiapan bibit
Rumput yang digunakan dalam penelitian ini adalah rumput laut gracillaria verrucosa. Wadah yang akan digunakan berupa tambak tradisional yang berada di desa muladimeng, Kab. Luwu
Air yang digunakan dalam penelitian ini merupakan air dari pasang surut yang sebagai pergantian air yang ada ditambak dengan menggunakan metode pergantian air untuk menjaga kualitas air agar tetap terkontrol.. Pergantian  air akan dilakukan selama 3 kali dalam seminggu
2.    Perlakuan penelitian
Penelitian ini terdiri dari 4 perlakuan dengan 3 kali ulangan. Masing-masing perlakuan memiliki biomassa, salinitas, suhu, pH, volume air serta wadah penelitian yang sama tetapi umur bibit yang akan digunakan berbeda,
Adapun umur bibit yang akan digunakan dalam penelitian ini yaitu:
1.    Bibit gracillaria umur 15 hari  
2.    Bibit gracillaria umur 25 hari
3.    Bibit gracillaria umur 20 hari  
4.    Bibit gracillaria umur 30 hari
3.    Analisis data
            Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) dengan 4 perlakuan yang diulang sebanyak 3 kali.



Letak masing-masing perlakuan RAK dalam penelitian ini setelah di lot adalah sebagai berikut :

A1
B3
C1
C4
B1
A2

B2
B4
B3
C1
B1
C4
B2
C3
B4
C2
 





A3
C3
C2
 









4.    Rumus Laju Pertumbuhan
Data penelitian pertumbuhan rumput laut Gracilaria sp yang akan dikumpulkan meliputi pertumbuhan bobot biomassa, laju pertumbuhan harian, dan kualitas air. Pertumbuhan diukur secara periodik seminggu sekali dari persiapan hingga pemanenan Menurut Effendi (1979), laju pertumbuhan relatif dapat dihitung dengan rumus: 
 𝑊𝑡𝑊𝑜   𝑥 100%
𝑊𝑜 𝑥 𝑡


Keterangan :   RGR : Relative Growth Rate (%/hari)
Wt : Berat akhir uji pada akhir penelitian (g)
Wo : Berat awal uji pada akhir penelitian (g)
 t : lama penelitian (hari) 
Laju pertumbuhan harian adalah presentase dari selisih berat akhir dan berat awal yang di bagi lamanya waktu penanaman. Hal ini sesuai dengan rumus dari Foog (1975)  yaitu:  
𝑆𝐺𝑅 = ln 𝑊𝑡− ln 𝑊𝑜   𝑥 100%/𝑎𝑟𝑖
𝑇

Keterangan : SGR : Laju pertumbuhan spesifik (%/hari)
                                     Wo  :  Bobot tanaman uji pada awal pemeliharaan (g) 
 Wt   :  Bobot tanaman uji pada akhir pemeliharaan (g)    
  T    :  Waktu pemeliharaan 






        

DAFTAR PUSTAKA
Annonymus.  2005, Prospect and Perspective of the Seaweed Industry for Building Capacities of Lokal Communities to Cope with Globalization (presentasi).  Seaweed Industry Association of the Philipines. Manila.
Aggadiredja, J.T.  2007.  Prospek Pasar Rumput Laut Indonesia di Pasar Global. Makalah disampaikan pada Lokakarya Implementasi Program     Berkelanjutan Sulawesi Selatan Menuju Sentra Rumput Laut Dunia.             Tanggal 7 Mei 2007. Makassar.
Atmadja, W.  S., A.  Kadi., Sulistijo, dan Rachmaniar.  1996.  Pengenalan Jenis- Jenis Rumput Laut Indonesia.  Puslitbang Oseanologi.  Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Jakarta.
chapman, V.J., and D.J.  Chapman,1980.  Seaweeds and Their Uses 3 edition. Chapman and Hall, New York.
Direktorat Jenderal Perikanan.  2004.  Hama dan Penyakit Rumput Laut.  Ditjen  `            Perikanan. Jakarta.
Direktorat Jenderal Perikanan.  1997.  Pedoman Teknis Pemilihan Lokasi `           Budidaya Rumput Laut.  Ditjen Perikanan.  Jakarta.
Effendi, H., 2003.  Telaah Kualitas Air.  Kanisisus.  Yogyakarta.Fardiaz, S., 1992.              Polusi Air dan Udara.  Kanisisus.  Yogyakarta.
Hamid 2009. Pengaruh Berat Bibit Awal dengan Metode Apung (Floating method) Terhadap Persentase Pertumbuhan Harian Rumput Laut.   Skripsi             (tidak dipublikasikan).  Program sarjana, Universitas Islam             Negeri.            Malang.
Hutabarat dan Evans.  2001.  Pengantar Oseanografi.  Universitas Indonesia.        Jakarta.
Kamlasi, Y.  2008.  Kajian Ekologis Dan Biologi Untuk Pengembangan Budidaya Rumput Laut (Eucheuma cotonii) Di Kecamatan Kupang Barat Kabupaten Kupang Propinsi Nusa Tenggara Timur.  Tesis (tidak dipublikasikan). Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.  Bogor.
Indriani H, Sumiarsih, E.  1999.  Budidaya, Pengolahan, dan Pemasaran Rumput  Laut (cetakan 7), Penebar Swadaya, Jakarta.
Muubarak, H., 1990.  Petunjuk Teknis Budidaya Rumput Laut.  Pusat        Penelitian dan Pengembangan Perikanan Badan Penelitian dan        Pengembangan Pertanian.  Jakarta.
Nibakken, J., W., 2000.  Biologi Laut Suatu Pendekatan Ekologi.  PT. Gramedia.              Jakarta.
Puncomulyo, T,.  2006.  Budi Daya Dan Pengolahan Rumput Laut.  PT Agro         Media Pustaka.  Jakarta.
Romimohtarto, K., dan Juwana, S., 2001.  Pengelolaan Sumberdaya Wilayah       Pesisir Secara Berkelanjutan.  Djambatan.  Jakarta
suegiarto A.  Sulistijo, dan W.  S.  Atmadja.  1977.  Pertumbuhan Alga Laut            Eucheuma spinosum pada Berbagai Kedalaman.  Oseanologi Indonesia,           8:11-18.
Sulistijo.  1985.  Budidaya Rumput Laut.  Lembaga Oseanologi Nasional.   Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia.  Jakarta.
Sulistijo.  2002.  Penelitian Budidaya Rumput Laut (Algae Makro/Seaweed) di        Indonesia.  Pidato Pengukuhan Ahli Penelitian Utama Bidang             Akuakultur, Pusat Penelitian Oseanografi Lembaga Ilmu Pengetahuan             Indonesia. Jakarta.
Sulistijo dan W.  S.  Atmadja.  1996.  Perkembangan budidaya Rumput Laut di      Indonesia. Puslitbang Oseanografi Lembaga Ilmu Pengetahuan     Indonesia. Jakarta.

Trono, G.  C.  1974.  A Review of The Production Technologies of Tropical           Species of Economic Seaweeds.  Technical Research        Reports.          Marine Science Institute, University of the `  Philippines.  Manila.            Widodo dan Suadi.  2006.  Pengelolaan Sumberdaya Perikanan     Laut. Yogyakarta.
Zatnika, A.  2009.  Pedoman Teknis Budidya Rumput Laut. Badan Pengkajian     dan Penerapan Teknologi.  Jakarta.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar